08 April 2009

Tugas dan Tanggung Jawab Penguasa

Dalam khazanah politik Islam, kepala negara (khalifah) adalah penerus Nabi SAW dalam mengatur dan mengurus urusan rakyat, sekaligus memegang tanggung jawab yang bersifat umum (mas'uliyyah al-'aamah). Atas dasar itu, pola hubungan antara penguasa dan rakyat dalam pandangan syariat Islam adalah hubungan pengaturan dan pengurusan (ri'ayah). Artinya, seorang penguasa bertanggung jawab sepenuhnya dalam mengatur dan mengurus urusan rakyat, serta memenuhi kepentingan-kepentingan mereka.

Hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan bisnis, yang mana penguasa berhak menjual aset-aset umum untuk kemudian dijual kepada rakyatnya; atau menarik kompensasi dari rakyat atas pelayanan yang diberikan; atau memperlakukan rakyat tak ubahnya sebagai seorang pembeli. Hubungan penguasa dan rakyat juga bukan hubungan yang bersifat militeristik; di mana seorang penguasa bisa berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya, atau memaksa mereka untuk memenuhi kepentingan-kepentingan penguasa. Hubungan antara penguasa dan rakyat juga tidak seperti hubungan antara seorang raja dengan rakyat jelata; di mana, seorang raja memiliki hak-hak istimewa yang tidak boleh dilanggar oleh rakyat jelata, dan lain sebagainya. Akan tetapi, hubungan antara kepala negara dan rakyat, dalam pandangan Islam adalah hubungan yang bersifat ri'ayah (pengaturan).

Untuk mewujudkan pola hubungan tersebut, Islam telah memikulkan sejumlah tanggung jawab kepada penguasa, agar pola hubungan tersebut (ri'ayah) tetap terjaga. Tanggung jawab yang dipikul oleh seorang kepala negara dibagi menjadi dua. Pertama, tanggung jawab seorang penguasa terhadap rakyat; Kedua, tanggung jawab seorang penguasa terhadap dirinya sendiri dalam kedudukannya sebagai seorang penguasa.

Terhadap Rakyat

Di antara tanggung jawab seorang penguasa terhadap urusan rakyat adalah, pertama, mengayomi rakyat dengan nasihat dan tidak mencampuradukkan pengelolaan harta umum dengan harta milik pribadi maupun negara. Allah SWT mengharamkan surga pada penguasa yang tidak mengayomi rakyatnya dengan nasihat; atau menipunya dengan kepalsuan. Ma'qil bin Yasar RA berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang hamba yang dibebani Allah untuk mengurusi rakyatnya dan dia tidak membatasinya dengan nasihat melainkan dia tidak mendapatkan bau surga”. (HR. Bukhori) "Dalam kesempatan lain, Ma'qil bin Yasar RA berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah seorang wali yang mengurusi rakyat muslim, lalu dia mati, sementara dia [ketika mengurusi mereka] menipu mereka melainkan dia tidak masuk surga bersama mereka.'" Abu Sa'id RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Di hari kiamat, setiap pengkhianat memiliki bendera yang ditinggikan menurut ukuran pengkhianatannya (kepalsuan). Ingatlah! Secara umum, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya melebihi seorang amir." (HR. Imam Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Rasulullah SAW telah memerintahkan seorang penguasa untuk mencurahkan segenap tenaganya dalam menjalankan tanggung jawab umat dan menjaga rakyat dengan nasihat.

Penguasa juga dilarang memanipulasi harta milik rakyat. Hal ini telah dijelaskan dalam banyak hadits. Nabi SAW tidak hanya mengingatkan para penguasa agar selalu teliti dalam mengurusi urusan harta rakyat, lebih dari itu, beliau tidak segan-segan memberikan peringatan yang sangat keras terhadap penguasa yang tidak amanah dalam urusan ini.

Kedua; mengatur urusan rakyat hanya dengan syariat Islam. Islam telah mewajibkan penguasa untuk menjalankan urusan rakyat dan pemerintahan sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Islam melarang penguasa menerapkan aturan-aturan selain Islam, atau mengambil sesuatu selain dari Islam. (QS 5: 44, 45, 47 ).

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwasanya seorang penguasa wajib mengatur urusan rakyat hanya dengan syariat Islam Dengan kata lain, dalam menjalankan urusan pemerintahannya, seorang penguasa wajib terikat dengan hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Quran dan Sunnah.

Hanya saja, Islam membolehkan penguasa melakukan ijtihad untuk memahami Alquran dan Sunnah. Allah juga memberi pahala bagi penguasa yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya salah. Hanya saja ijtihadnya harus selalu berjalan di atas bingkai hukum Islam. Ia dilarang berhukum dengan selain hukum Islam.

Terhadap Dirinya Sendiri

Tanggung jawab penguasa terhadap dirinya sendiri sebagai seorang penguasa adalah melengkapi dirinya dengan sifat-sifat kepemimpinan telah dijelaskan di hadits-hadits yang menjelaskan tentang sifat penguasa.

Di antara sifat-sifat kepemimpinan yang harus dimiliki seorang penguasa adalah kuat, taqwa, ramah, rifq bir ra'iyah (mengayomi, mendidik, dan menyayangi rakyat), dan tidak menakutkan.

Rasulullah SAW memandang bahwa penguasa haruslah orang yang kuat, dan kekuasaan tidak layak bagi orang yang lemah. Imam Muslim menuturkan hadits dari Abu Dzar ra, bahwasanya ia berkata, ”Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, mengapa anda tidak mempekerjakan saya (menjadikan dirinya sebagai penguasa)?" Mendengar pertanyaan itu, beliau menepuk-nepuk dua pundak Abu Dzar, kemudian bersabda, "Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sementara kemas'ulan itu (tanggung jawab) itu amanat. Dan kelak pada hari kiamat [menjadi sebab] kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakannya dalam kebenaran."

Adapun yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan kepribadian; yakni, kuat akal dan jiwanya.

Jika seorang penguasa bertaqwa dan takut pada Allah, dan merasa selalu diawasi gerak-geriknya, baik di tempat tersembunyi maupun terang, maka hal itu akan mengekang dirinya dari tindak kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya. Atas dasar itu, ia harus merasa dalam pengawasan Allah.

Ketika seorang penguasa secara alami cenderung untuk berlaku keras dan kasar, Islam memerintahkannya untuk menjadi orang yang ramah dan tidak memberatkan urusan rakyatnya. 'Aisyah RA berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah SAW berdoa di rumahku ini: Ya Allah, semoga orang (penguasa) yang menangani perkara umatku, lalu dia memberat-beratkan mereka, maka beratkanlah dia. [Ya Allah], semoga orang yang menangani perkara umatku, lalu dia melunakkan (ramah) mereka, maka lunakkanlah dia." (HR. Imam Muslim).

Penguasa juga diperintahkan untuk berpenampilan yang menyenangkan dan tidak angker. Dari Abu Musa RA dituturkan bahwa dia berkata, "Kalian berbuatlah yang menggembirakan dan jangan membuat [rakyat] lari, mudahkanlah dan jangan mempersulit!"

Dari paparan di atas jelaslah bahwa tugas dan tanggung jawab seorang penguasa adalah melakukan ri'ayah terhadap urusan rakyat, bukan yang lain.

Sayangnya, pola hubungan antara penguasa dan rakyat yang indah ini telah dirusak oleh para penguasa yang berkiblat kepada paham kapitalisme-sekulerisme. Akibatnya, umat Islam terus dikelabui, dikhianati, didzalimi, dan dieksploitasi oleh para pemimpinnya sendiri. Lantas, sampai kapan keadaan semacam ini akan terus berlangsung? Wallahu ‘alam bish Shawab



Tidak ada komentar:

Posting Komentar