08 April 2009

Khilafah Islamiyyah: Antara Sentralisasi dan Desentralisasi

Aksi anarki pendukung pemekaran daerah Tapanuli Selatan yang berbuntut tewasnya Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat telah menunjukkan bahwa motivasi pemekaran daerah tidak selalu sejalan dengan kepentingan-kepentingan praktis pembangunan; akan tetapi juga dilatarbelakangi tendensi-tendensi sara (suku, agama, ras).

Pemekaran daerah yang semestinya untuk kepentingan peningkatan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien, penciptaan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, serta optimalisasi eksplorasi potensi yang belum digarap, justru telah disimpangkan dengan tendensi-tendensi yang bersifat pribadi; semacam keinginan untuk menjadi penguasa-penguasa daerah baru, serta pembentukan pemerintahan yang berbasis pada agama tertentu atau kelompok tertentu.

Keadaan ini bisa dimengerti karena, undang-undang otonomi daerah telah memberikan kewenangan dan kekuasaan luas kepada daerah hampir menyamai pemerintah pusat. Tidak hanya itu saja, pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal akibat perebutan asset ekonomi daerah, pertikaian dalam menetapkan ibu kota daerah, dan motif-motif ekonomi politik lainnya.

Depdagri melaporkan bahwa 76 dari 104 daerah baru hasil pemekaran selama tahun 2000-2004 bermasalah; mulai dari masalah transfer asset, tidak diakui daerah induk, perselisihan antara pihak pro dan kontra, hingga pada masalah sepele, semacam penentuan ibukota kabupaten yang baru dan batas-batas wilayah.

Sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Sayangnya pemekaran ini belum memberikan pengaruh signifikan bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan dan pelayanan. Otonomi daerah malah dianggap kebablasan, hingga melahirkan “raja-raja kecil” yang siap menjual asset-asset daerahnya kepada asing, memperlebar kontraksi politik di tengah-tengah masyarakat, meningkatnya biaya-biaya politik, semacam biaya untuk pilgub, pilkada, dan pilbup, serta munculnya potensi-potensi disintegrasi di wilayah Indonesia.

Lalu, bagaimana konsepsi kewilayahan, dan pengaturan pemerintahan di dalam Islam? Sejauh mana efisiensi dan efektifitas pemerintahan Islam dalam menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya?


Sentralisasi dan Desentralisasi

Bentuk negara dan konsepsi kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah adalah kesatuan dan sentralisasi kekuasaan. Adapun yang dimaksud dengan kesatuan di sini adalah; seluruh wilayah kekuasaan Daulah Khilafah Islamiyyah merupakan satu kesatuan kepemimpinan dan wilayah. Tidak ada pemimpin ganda di dalam Islam, dan tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan pusat, seperti sistem pemerintahan federasi. Seluruh wilayah dan rakyat yang hidup di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah adalah satu, dan dikendalikan oleh kepemimpinan yang bersifat tunggal.

Pembiayaan dan pengaturan belanja negara juga dianggap satu, tanpa memandang lagi wilayahnya (provinsi). Jika pendapatan sebuah provinsi tidak sanggup membackup pengeluaran (kebutuhan), maka kebutuhan-kebutuhan provinsi tersebut akan dicukupi oleh pemerintahan pusat. Pasalnya, strategi penganggaran di provinsi didasarkan pada kebutuhannya, bukan didasarkan pada pemasukan provinsi. Jika pendapatan provinsi tersebut tidak mencukupi, maka wilayah tersebut akan disubsidi oleh pemerintahan pusat.

Adapun yang dimaksud dengan sentralisasi kekuasaan di sini adalah, kekuasaan berpusat di tangan khalifah yang berkedudukan di pusat pemerintahan. Khalifah adalah pemimpin agung bagi seluruh kaum Muslim dan berwenang mengatur sepenuhnya urusan-urusan rakyat yang tinggal di wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyyah. Tidak ada kekuasaan kembar, atau kekuasaan independent di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah.

Kesatuan dan sentralisasi kekuasaan telah ditetapkan berdasarkan sunnah dan ijma' shahabat. Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Arfajah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mendatangi kalian, padahal urusan kalian telah terkumpul di tangan seseorang (khalifah), kemudian ia hendak mengoyak kesatuan kalian dan memecah belah jamaa'ah kalian, maka bunuhlah ia”.[HR. Imam Muslim]

Namun, untuk mempermudah jalannya roda pemerintahan, secara administratif, wilayah daulah Khilafah Islamiyyah dibagi menjadi beberapa wilayah (provinsi). Wilayah adalah daerah tingkat I yang dikepalai oleh seorang waliy. Wilayah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa imalah (daerah tingkat II). Imalah adalah daerah tingkat II yang dikepalai oleh seorang hakim atau amil. Imalah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian admistratif yang disebut dengan qashabah (kota); dan qashabah dibagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian administratif yang lebih kecil, yang disebut dengan hayyu (desa). Orang yang mengurusi 'ashabah dan hayyu disebut dengan mudir, dan mereka hanya menjalankan tugas-tugas administratif belaka.

Para wali dan amil adalah penguasa (hukkam) atas daerahnya, dan diberi otonomi untuk memerintah dan mengatur wilayahnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan khalifah. Wali diangkat dan diberhentikan oleh khalifah, bukan diangkat oleh rakyat yang ada di wilayahnya. Pasalnya, Rasulullah SAW mengangkat para wali untuk beberapa wilayah. Beliau SAW pernah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Labid di wilayah Hadlramaut , Abu Musa al-Asy'ariy di wilayah Zabid dan 'Adn, dan lain sebagainya.

Di masa awal-awal Islam, seorang wali kadang-kadang diangkat dengan wewenang yang bersifat penuh ---berwenang mengurusi urusan pemerintahan dan harta sekaligus. Wali dengan kewenangan penuh ini disebut dengan wali shalat wa kharaj (wali umum). Nabi SAW pernah mengangkat Amru bin Hazm menjadi wali di Yaman dengan kewenangan umum. Nabi SAW kadang-kadang juga mengangkat wali dengan kewenangan yang bersifat khusus, semacam hanya bertugas mengurusi peradilan, harta, pemerintahan, pasukan, dan lain sebagainya.

Di dalam fikih klasik, wali yang hanya diberi kewenangan untuk memerintah saja, namun tidak berhak mengurusi urusan keuangan (harta) disebut dengan wali sholat. Ada pula wali yang diberi tugas hanya mengurusi urusan harta; dan disebut dengan wali kharaj (wali khusus). Nabi saw pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib untuk mengurusi masalah peradilan di Yaman; beliau juga mengangkat Ziyad bin Labid untuk mengurusi zakat di wilayah Hadlramaut; Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan zakat dan jizyah di Najran, dan lain sebagainya.

Walaupun khalifah boleh mengangkat wali dengan kewenangan yang bersifat umum dan khusus, namun, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dan Syaikh Atha' Abu Rustah menyarankan agar khalifah tidak memberikan kewenangan yang bersifat umum kepada para wali. Pasalnya, ketika wali diberi kewenangan yang bersifat umum, maka ancaman disintegrasi di tubuh Daulah Khilafah Islamiyyah terbuka lebar. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan kekhilafahan Abbasiyyah; Saat itu para wali memiliki kekuasaan yang bersifat independen, hingga khalifah tidak memiliki kekuasaan atas para walinya, dan ia hanya dijadikan sebagai simbol pemerintahan belaka.

Atas dasar itu, memberikan kewenangan umum kepada wali bisa menimbulkan dlarar (bahaya) bagi Daulah Khilafah Islamiyyah. Adapun kewenangan bisa menimbulkan masalah jika diberikan kepada wali adalah kewenangan dalam urusan peradilan, keuangan, dan tentara. Oleh karena itu, tiga urusan ini tidak boleh diberikan kepada wali, akan tetapi hendaknya dibuat struktur tersendiri yang independen dari wali.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk negara Daulah Khilafah Islamiyyah adalah kesatuan, dan kekuasaannya tersentralisasi di tangan Khalifah. Sedangkan dalam urusan-urusan administrasi dan pengelolaan urusan rakyat, Khalifah memberikan otonomi kepada para wali untuk memerintah dan mengatur urusan rakyat sesuai dengan kewenangan yang diberikan khalifah kepadanya (desentralisasi). Sistem ini pernah dijalankan di sepanjang lintasan sejarah kekhilafahan Islam, dan terbukti mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar